Satu Paragraf: Tentang Sandal

“Seprestisius apapun sandal Hotel, ia tak akan pernah bisa membawamu berjalan jauh. Sebab, ia hanya sandal spons yang ringkih dan murahan. Sebaliknya, sejelata apapun sandal Swallow, ia akan selalu siap kau ajak menyusuri jalanan yang jauh dan terjal sekalipun, karena ia adalah sandal karet yang kuat dan nyaman.” Kata Agus Mulyadi. Kala kami masih sibuk membandingkan sandal Hotel dan Swallow, datanglah laki-laki berbadan tegap, memakai tas kecampang dan bersandal Eiger. Dari perawakannya dapat ditebak kalau ia adalah seorang pendaki. Setelah memesan kopi kental, ia mengambil tempat duduk tetap di depan kami. Bagaikan Waliyullah, ia langsung menimpali obrolan enak kami seolah ia telah mendengarkan isi percakapan kami dari perjalanannya menuju kedai Bento Kopi. Dan berkatalah ia bak sebuah sabda. “Memilih sandal bukan perkara mudah dan gampang, Cong. Butuh laku spiritual tinggi dalam memilih sandal yang pas untuk kita.” Kopi kental yang ia pesan pun datang. Ia menyeruput kopi kental itu dengan khusyuk, sembari kemudian menyalakan sebatang rokok Apache. Tempias cahaya dari percikan api korek Kriket itu menunjukkan tulang pipinya yang menonjol, seperti ingin memberikan kesan bahwa ia adalah penantang maut. Dengan air muka tampak serius, ia melanjutkan sabdanya bak sebuah hadist perjalanan Rosulullah. “Dalam perjalananku yang jauh dan terjal, sudah tak terhitung meminta tumbal berbagai macam sandal. Semuanya berakhir dengan tragis. Kualitas material dan desain, karena akan menunjukkan kedalaman ilmu laku spiritual pembuat sandal, sangat berpengaruh pada kehandalan sandal, dan dari semua itu hanya ada satu sandal yang bisa kuajak berjalan.” Kami yang mendengar perkataaan dari laki-laki yang mendakukan diri sebagai si pejalan jauh dan terjal itu, takjub! sembari menunggu sabda penutupnya. “Pada akhirnya, Cong, hanya sandal Eiger yang sanggup menuntunku menuju puncak spiritualitas tertinggi. Bukan sandal Swallow dan Hotel. Ataupun Sky Way dan Lily.” Kawan-kawan yang budianduk, eh budiman-budawati. Seperti kata Agus Mulyadi, kami memang sedang membicarakan soal sandal, bukan soal cinta. Tapi silakan jika kalian mau menarik garis lurusnya. Sebab, pada akhirnya cinta adalah persoalan perjalanan jauh dan terjal.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Inuyasha dan Kikyo: Cinta Tak Sampai

Puisi: Langit Jogja