Posts

Laron

 “Kapan kau terakhir menyesal?”  Ia bertanya dengan wajah yang begitu tenang, seakan-akan kematian masih teramat jauh dari lehernya. “Ada banyak berkah yang tak ku syukuri, banyak kesia-siaan yang kutelan. Mungkin, bisa jadi, salah satunya adalah kau. Tapi tak pernah kubiarkan rasa sesal menggagahiku. Penyesalan hanya membuat usia akan makin terasa pendek. Hidup terlalu pendek untuk dibebani sederet penyesalan!” Itu jawabku.  Dia menghela nafas. Kali ini lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku lebih memilih menatap wajahnya yang terasa makin tirus. Ada satu rahasia yang makin tak mampu ku raba. Jalanan makin gelap, juga sepi, mungkin seperti hidupnya. “Kita ini seperti laron. Satu waktu kau yang menjadi api dan aku yang menjadi laron. Lain kali aku yang menjadi api dan kau yang menjadi laron.” Aku tak memotongnya. Kubiarkan ia mengeluarkan semua yang ingin dikatakan. Ada satu perasaan yang muncul diam-diam: sebaiknya kubiarkan ia bicara apa saja, s

28 Oktober 2023

Pada akhirnya saya tahu letak kelemahan yang saya miliki. Ternyata saya masih hidup dalam dunia di mana putih adalah putih dan hitam adalah hitam. Saya masih saja menafikkan bahwa ada abu-abu di antara kedua warna tersebut. Akibatnya saya selalu saja menjadi korban atau tumbal orang lain. Atau dengan kata lain, saya masih terjebak dalam ruang idealisme –jika polos atau bodoh tidak mau saya akui. Kehidupan dunia proyek tidak semudah apa yang saya pelajari dalam ruang kuliah. Ternyata dunia proyek bukan soal perencanaan dan pengestimasian resiko semata, tapi penuh dengan intrik, saling sikut, cari aman dan cari muka. Selain itu apa yang dulu saya yakini bahwa pengalaman bukanlah tonggak utama membentuk diri ternyata keliru besar. Walaupun pada satu titik saya masih tetap saja menyakini bahwa pengalaman bukanlah guru terbaik. Rasionalisme adalah segalanya. Ya, lagi-lagi saya masih apologi.

Saru Paragaraf: Warna

Hujan. Jalanan basah. Langit menampakkan wajah muram tanpa sebuah salam hangat. Gerombolan manusia yang berjalan membawa kesedihan dan kebahagiannya masing-masing. Perasaan yang kadang hanya bisa diterka dari raut wajah, ekspresi atau tingkah laku. Bagaimanapun hujan membuat hari ini dingin dan melelahkan. Satu kesibukan datang dengan begitu kejam dan menyedot habis seluruh perhatianku hingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk mendatangkan pikiran tidak penting seperti biasanya. Arah jarum jam seolah bergerak tergesa-gesa. Seperti tidak ingin bersahabat denganku dengan sedikit saja memberikan jeda untuk bermalas-malasan barang sejenak. Eh, aku salah. Mengejar sesuatu membuat satu detik menuju 60 menit menjadi begitu lambat. Seperti hari ini, di mana aku terjebak dalam pusaran waktu yang memaksaku mencintai kenyataan. Tentang hari jum’at dan hujannya yang deras, dan tentang hari jum’at yang tidak menghadirkan ruang untukku memperhatikan banyak hal, termasuk warna. Hingga malam me

Temanku L

Temanku L. Dalam kamar dia menghadap cermin dan memandang diri sendiri. Memperhatikan dan memastikan bahwa dia masih sama. Seperti pada usia ke 23 tahun ketika membuat keputusan besar: berkomitmen tidak menikah. Bertahun-tahun kemudian, pada usia menjajaki angka 30 tahun, saat kami dipertemukan dalam satu janji, tepat setelah beranjak dari hadapan cermin, senyum sumringah begitu tegas tersimpul. Rona merah terpancar. L bahagia. Alih-alih bertanya aku memilih diam, termenung, meresapi dan coba memahami pilihan hidupnya itu. Sampai saat ini. Sebab aku tahu pilihan itu berbuntut problematis dan menuntut konsekuensi logis daripada psikologis semata. Kita mahfum betul itu. Tuduhan traumatis selalu dilekatkan kepadanya. Alih-alih memahami dan mencerna berbagai argumen yang dia dasarkan sebagai dalil tidak menikah. Kubilang ini problematis. Tricky. Alias pelik. Dalam sosio-kebudayaan kita menikah telah menjadi bagian fase hidup. Menikah setara dengan kelahiran dan kematian. Mau tidak mau

Satu Paragraf: Adolf Eichmann

Satu waktu aku pernah memilih sebuah buku tentang pengadilan Adolf Eichmann. Aku memiliki gambaran yang agak samar tentang dia sebagai penjahat perang Nazi, tapi tidak ada minat khusus terhadap orang ini. Kebetulan saja buku ini terlihat olehku saat ke perpustakaan. Aku mulai membaca dan belajar bagaimana letnan kolonel yang sangat praktis di SS ini, dengan kacamatanya yang berbingkai logam serta rambut yang menipis, tidak lama setelah perang dimulai, ditugaskan oleh markas besar Nazi merancang sebuah ”penyelesaian akhir” bagi bangsa Yahudi —yaitu pemusnahan— dan bagaimana dia meneliti cara-cara yang paling baik dalam melaksanakan pemusnahan itu. Kelihatannya hampir tidak pernah terlintas dalam benaknya mempertanyakan moralitas atas tindakannya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara terbaik membinasakan bangsa Yahudi dalam waktu yang sangat singkat serta biaya serendah mungkin mengenai sebelas juta orang Yahudi yang menurut dia harus dimusnahkan di Eropa. Eichmann mempelajari berap

Satu Paragraf: The God Delution

The God Delution. Adalah sebuah keberanian menerbitkan buku penuh kontroversi ini dalam bahasa Indonesia. Meski buku ini bukan buku baru, terbit 2006, tp polemik yang ditimbulkan masih bergaung hingga saat ini. Buku ini bahkan dianggap sebagai kitab sucinya orang atheis. Dalam pengantarnya saja, Dawkins secara gamblang mengatakan dg penuh harap yang telah membaca bukunya ini dapat mengantarkan pembacanya pada satu pemahaman yang sama: menjadi ateis. Tentu saja kalimat penuh agitasi ini menyebabkan para pemuka agama di Amerika maupun Eropa yang mayoritas beragama Kristen marah dan membuat buku tersebut mendapat cercaan di mana-mana. Sisi lain, sebenarnya, keinginan membaca buku ini sudah terbesit berapa tahun silam, 2014, saat begitu asik mencerna The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World karya Paul Davies. Tapi, entah kenapa tenggelam begitu saja oleh kesibukan tak begitu produktif. Kemudian, beberapa waktu lalu, dalam satu perbincangan pada satu malam yang tidak begit

Satu Paragraf: Nyai Ontosoroh

Saya selalu tertarik dengan perempuan yg punya kesadaran bahwa ia, sebagaimana manusia seperti halnya laki-laki, juga memiliki dimensi privat yg tak boleh diredupkan, dipatahkan dan dihilangkan oleh kejumudan kolektifitas budaya kita. Seperti Nyai Ontosoroh. Meskipun karakter ini fiktif dlm karya Tetrologi Buru Pramoedya Ananta Toer, ia selalu menjadi prototipe saya dlm melihat bagaimana seorang perempuan harus berfikir dan bertindak. Salah satu perkataan Nyai Ontosoroh yg sangat terekam dlm kesadaran saya adalah: “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” Kesadaran yg sangat bertenaga dilontarkan Nyai Onyotosoh ini membuat sya dulu, saat pertama kali membaca Tetrologi Buru, krn saya hidup dlm kebudayaan di mana laki-laki punya otoritas dan power tak bisa dibantah, membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana tekstur hidup seorang perempuan yg tak mau berkalang lelaki. Anggapku, perempuan seperti